Sunday, December 19, 2010

Strategi Bisnis UKM: Menyelaraskan Branding dengan Penjualan







Hari Senin (29/11/10) yang lalu, saya berkesempatan melakukan pendampingan ke beberapa UKM Bordir Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Ada 3 UKM yang saya kunjungi dan sempat bertukar pikiran dengan pemiliknya, dan ketiganya memiliki permasalahan bisnis yang berbeda. UKM pertama, memilki keunggulan volume produksi yang besaar, sekitar 300 kodi per bulan, tapi sebagian dijual tanpa merek ke pedagang perantara. Skema penjualan seperti itu akan meminimalkan margin keuntungan produsen, dan lebih besar untuk pedagang. Tapi, produsen menganggap hal itu tidak jadi masalah, dengan alasan berbagi rejeki. Bagi saya pribadi, sebuah alasan tersebut tidaklah salah, tapi mungkin kurang tepat.

UKM bordir kedua yang saya kunjungi, memilki konsep ekslusif untuk produk bordir yang dihasilkannya. Selain memproduksi bordir, pengusaha ini memilki butik di salah satu pusat perbelanjaan di kota Taskmalaya untuk menjual produknya. Melihat bentuk, tampilan dan harga produk, memang menyasar ke kalangan menengah ke atas. UKM terakhir yang saya kunjungi juga memiliki toko sebagai showroom produk bordirnya. Dari hasil ngobrol, ternyata keberadaan toko tidak terlalu berperan dalam penjualan produknya, karena sebagian besar penjualan berupa pesanan dari luar kota.

Penjualan vs Branding
Satu hal serupa yang saya temukan dari Ketiga UKM Bordir tersebut di atas yaitu minimnya pemahaman tentang strategi branding atau merek. Semuanya sudah memiliki merek, tapi masih memandangnya sekadar label belaka, bukan sebagai bagian dari strategi pemasaran. Kegiatan branding memang dikenal sebagai sumber biaya (cost center) bukan sumber laba (profit center), sehingga keberadaannya kurang diindahkan oleh pengusaha UKM.
Dengan kondisi UKM yang masih terbatas baik secara secara modal, jumlah produksi maupun SDM, manakah yang lebih tepat, lebih banyak melakukan aktivitas penjualan ataukah membangun merek? Komprominya ialah lakukan penjualan secara eceran untuk membangun merek dan mulailah menjual ke pasar B2B (bisnis ke bisnis) untuk mendapatkan penjualan yang lebih besar. Kedua aktivitas ini idealnya dilaksanakan secara beriringan, bukan saling mengalahkan. Pasar bisnis ke bisnis, lebih menghasilkan volume penjualan besar tapi dengan keuntungan tipis. Sementara, penjualan eceran akan memberikan keuntungan yang lebih besar serta memungkinkan pembangunan merek produk.

Branding sebagai investasi jangka panjang
Membangun brand adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu cukup lama dan biasanya melalui enam tahap sebelum memungkinkan terjadinya penjualan berkesinambungan:
1. Tahap pengenalan (aware)
2. Tahap mengerti benefit atau positioning (understand)
3. Tahap meyakinkan bahwa produk lebih baik dari pesaing (preference)
4. Tahap membangkitkan semangat mencoba, membeli secepatnya (convince)
5. Tahap terciptanya penjualan (action/selling)
6. Tahap pembelian kembali (repeat)

Jika pengusaha UKM memandang secara jangka pendek, tentu saja branding bukan pilihan yang populer. Tapi, untuk jangka panjang, pengusaha UKM akan mendapatkan banyak keuntungan dari aktivitas branding. Jadi, aktivitas berbasis penjualan dan kegiatan untuk branding, sebaiknya bisa berjalan beriringan dan saling menguatkan.
Bagaimana menurut Anda?


- Sumber gambar: http://blog.sribu.com/wp-content/uploads/2013/01/online-marketing-2-300x209.jpg
- Ditulis untuk http://creasionbrand.blogspot.com/

Monday, April 12, 2010

MIX Agency of The Year 2010: Kreativitas dan Efektivitas Semakin Padu

JWT Indonesia mencatatkan diri sebagai Best of The Best Advertising Agency atau Biro Iklan Terbaik di ajang MIX Agency of The Year tahun ini. Dari survei kepada pengguna jasa biro iklan (marketer) yang digelar oleh majalah MIX, biro iklan multinasional tersebut unggul dalam Efektivitas Strategi, Target Market Insight, Industry Insight, Value for Money dan Reputasi.

Raihan biro iklan yang dipimpin oleh Lulut Asmoro ini, semakin membuktikan semakin padunya kreativitas dan efektivitas dalam dunia periklanan. Karena, selain meraih gelar MIX Advertising Agency of The Year 2010, JWT adalah jawara Citra Pariwara 3 tahun berturut-turut (The Best Agency tahun 2007-2009). Koleksi Silver Asia Pacific Ad-Fest'09 dan Silver Cannes'08, juga membuktikan kehebatan JWT secara kreativitas, karena baik Citra Pariwara, AP-Adfest maupun Cannes, lebih menitikberatkan sisi kreatif dalam penilaiannya.

Di posisi runner-up, biro iklan lokal Matari masih menunjukkan kekuatannya di pentas industri periklanan tanah air. Perusahaan yang didirikan oleh Ken Sudarto pada 30 Januari 1971 ini, menjadi The Best Creative pada gelaran penghargaan untuk para agency di bidang marketing communication berdasarkan pilihan para marketer ini. Merujuk citarasa lokalnya, Matari mengklaim sebagai biro iklan yang paling memahami pasar dan konsumen Indonesia. Selain menjadi runner-up di ajang MIX Advertising Agency of The Year 2010, Matari pernah meraih penghargaan finalis CLIO Award-anugerah periklanan paling bergengsi di seluruh dunia.

Semakin 'akur'-nya aspek kreatif dan efektif dalam periklanan, juga bisa dilihat dari biro iklan di posisi ke-3 Advertising Agency of The Year 2010, Ogilvy. Biro iklan yang menyandang nama besar David Ogilvy-salah satu tokoh besar periklanan dunia ini, menggunakan formula Twin Peak dalam mengangani proyek-proyek iklannya. Prinsip kerja Twin Peak ialah terbaik dalam menghasilkan kreativitas sekaligus efektivitas, dan hal ini dibuktikan oleh klien-klien Ogilvy, salah satunya Unilever, yang mempercayakan 15 brand-nya kepada biro iklan multinasional ini.

Nah, dari cerita di balik kemenangan 3 besar The Best Advertising Agency of the Year 2010 tadi, semakin mendekatkan 'jarak' antara 'iklan kreatif' dan 'iklan efektif' yang menjadi perdebatan abadi para praktisi periklanan. Iklan tidak bisa diukur dengan parameter kreativitas saja, tapi juga bisa diukur secara kuantitatif. Selain kemasan yang kreatif, iklan juga harus bisa memenuhi tujuan dan sasaran komunikasi pemasaran, salah satunya untuk meningkatkan penjualan produk. Mungkin benar apa yang pernah dilontarkan oleh David Ogilvy, bahwa “If it doesn't sell, it isn't creative.”

Bagaimana menurut Anda?


- sumber: Majalah MIX edisi April 2010

Tuesday, January 19, 2010

Indomie (mungkin) Seleraku...






Mie instant, siapa sih yang tidak mengenal produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) yang satu ini. Kalaupun ada yang tetap ngeyel tidak kenal, saya yakin itu hanya soal penyebutan saja. Barangkali dia lebih mengenal "indomi" untuk menyebut produk mie siap saji itu.
Bicara soal sebutan bagi produk mie instant, di masa kecil saya dulu, justru kata "sarimi" lebih populer. Saat itu, saya biasa menggunakan istilah "sarimi" untuk menyebut "mie instant". Saya kurang tau bagaimana kebiasaan itu terbentuk, mungkin karena saya termasuk segmen SES C-D alias golongan ekonomi menengah ke bawah, yang sepertinya menjadi target utama lini merek Sarimi. Sedangkan Supermi dan Indomie, ditujukan bagi segmen menengah ke atas, sehingga dibandrol harga lebih tinggi dengan kualitas lebih baik tentunya. Saat itu pun, iklan Sarimi sering tayang di tv. Saya masih ingat jingle-nya: "Sarimi...dari aromanya terbayang kelezatannya" (CMIIW...).
Sebenarnya, saya kurang suka dengan mie instant. Kadang, rasa bumbunya benar-benar memuakkan, hingga merusak indra perasa di lidah saya. Tapi, saya harus berkompromi dengan hal itu ketika saya melanjutkan SMA di Purwokerto yang cukup jauh dari rumah. Karenanya, saya harus kost untuk mendukung aktivitas sekolah. Nah, bukankah anak kost itu identik dengan mie instant? Dan saya menjawab iya...
Dari sekian merek mie instant yang tersedia di pasaran, saya lebih suka Indomie. Dan menurut saya, Indomie Goreng paling enak dibanding varian Indomie lainnya. Satu lagi yang pernah jadi favorit saya ialah Indomie Rasa Nusantara. Waktu itu, saya sampai terobsesi mencoba seluruh pilihan rasanya.
Kebiasaan makan mie instant, berlanjut di masa kuliah. Sekali lagi, karena saya mesti jadi anak kost. Kali ini, bahkan lebih jauh dari rumah, tepatnya di Semarang. Hasilnya, mie instant masih lekat dengan kehidupan saya. Apalagi, di sekitar kampus bertebaran warung indomie (biasanya juga menyediakan bubur kacang hijau dan kebanyakan penjualnya orang Sunda). Dan Indomie tetap jadi pilihan pertama saya.
Tahun 2003, Mie Sedap menyerbu pasar mie instant nusantara. Merek keluaran Wings Group ini beriklan begitu gencar di media massa, terutama di televisi. Begitu juga dengan promo sampling (coba gratis) di pusat keramaian. Dengan tekstur mie lebih kenyal dan rasa lebih sedap (sesuai dengan namanya), Mie Sedap mendapat respon bagus dari penikmat mie instant, termasuk saya. Dengan dukungan jalur distribusi yang kuat, Mie Sedap sukses meraih posisi runner up, di bawah merek Indomie.
Kini, Indomie masih jadi yang pertama di pasar mie instant tanah air. Meski sempat digempur oleh Mie Sedap, Indomie belum tergoyahkan. Merek milik grup Indofood ini, menguasai 69,6% pangsa pasar mie instant dalam negeri* dan Mie Sedap membuntuti dengan penguasaan 23%. Sisanya, diperebutkan oleh 8 merek lain (termasuk Supermi, Sarimi dan Popmie, yang juga keluaran Indofood).
Indofood Sukses Makmur pemilik merek Indomie, tentunya mempunyai strategi untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagai pemimpin pasar, perusahaan ini memiliki keunggulan secara total, dari produksi hingga distribusi. Selain itu, Indofood juga memiliki merek Supermi, Sarimi dan Sakura, yang bisa digunakan jadi tameng menghadapi pesaing-pesaing Indomie. Kemudian, Indomie juga sangat kuat secara merek dan selalu berusaha memperkuat nilai mereknya. Hal ini, bisa kita liat dari iklan-iklan televisinya yang lebih banyak untuk pencitraan dan tidak terlalu menonjolkan rasa produk atau harga. Indomie juga menyelenggarakan event untuk membangun sekaligus meremajakan merek Indomie, seperti Indomie Jingle Dare yang menyasar audience anak SMA.
Setiap merek, sudah seharusnya peka dengan perubahan pasar. Situasi dan kondisi pasar, tidak selalu sama. Salahsatunya ialah usia konsumen yang selalu bertambah. Pun dengan pola pikir dan pandangan mereka, termasuk dalam memilih merek suatu produk. Kemudian, munculnya konsumen usia muda, sudah pasti perlu pendekatan khusus untuk mengkomunikasikan merek ke mereka. Dan menurut saya, Indomie sukses merawat mereknya sehingga hari ini masih kokoh di puncak pasar mie instant dan berhasil membuat jutaan orang Indonesia berkata: Indomie... Seleraku...
Bagaimana menurut Anda?


* hasil riset Mars di 7 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar dan Denpasar) tahun 2008.

- terinspirasi iklan terbaru Indomie (versi ganti kemasan)
- Sumber gambar: http://behance.vo.llnwd.net/profiles10/334599/projects/2074748/d9acb14d44ea0f121189ceb2b94d3d2f.jpg